Welcome GKI Taman Cibunut
Jl. Van Deventer No.11, Kb. Pisang, Kec. Sumur Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat 40112
About Us....Jl. Van Deventer No.11, Kb. Pisang, Kec. Sumur Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat 40112
About Us....D i dalam Lukas 17:11–19 kita membaca, Di tengah perjalanan menuju Yerusalem, Yesus melewati perbatasan antara Samaria dan Galilea. Di sana, sepuluh orang kusta berdiri dari kejauhan dan berseru, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Seruan mereka bukanlah teriakan biasa, melainkan jeritan dari hati yang haus akan belas kasihan. Mereka berdiri jauh bukan karena ingin menjaga sopan santun, tetapi karena hukum dan masyarakat memaksa mereka untuk hidup dalam jarak. Penyakit kusta tidak hanya menggerogoti tubuh, tetapi juga merenggut identitas dan martabat. Mereka terbuang, tidak lagi diakui sebagai bagian dari komunitas manusia. Namun Yesus, Sang Guru yang penuh belas kasih, tidak berpaling. Ia tidak menyentuh mereka, tidak mengadakan upacara ajaib. Ia hanya berkata, “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan sementara mereka berjalan, dalam ketaatan dan iman yang sederhana, mereka menjadi tahir. Namun, kisah ini tidak berhenti di situ. Dari sepuluh orang yang disembuhkan, hanya satu yang kembali. Ia adalah seorang Samaria, orang yang oleh bangsa Yahudi dianggap najis secara rohani dan sosial. Ia kembali dengan suara nyaring memuliakan Allah, lalu tersungkur di depan kaki Yesus, mengucap syukur. Adegan ini begitu indah. Seorang yang dulu diasingkan kini berlutut di hadapan Sang Juruselamat. Ia tidak hanya menerima kesembuhan tubuh, tetapi mengalami penyembuhan hati. Ia menyadari bahwa kuasa yang menyembuhkannya bukan hanya sekadar kuasa ilahi yang jauh, melainkan kasih pribadi dari Allah yang datang mendekat. Tersungkur di kaki Yesus adalah simbol kesadaran mendalam akan anugerah. Ia tidak sekadar bersujud karena rasa kagum, melainkan karena menyadari bahwa hidupnya kini milik Tuhan. Sikap tersungkur menggambarkan kerendahan hati dan pengakuan bahwa semua yang baik dalam hidup, berasal dari kasih karunia Allah semata. Betapa sering kita seperti sembilan orang lainnya yang menerima berkat Tuhan, namun lupa untuk kembali. Kita cepat berlari melanjutkan hidup, namun lambat atau bahkan lupa untuk berhenti dan bersyukur. Kita rajin memohon, tetapi jarang merenung dan berterima kasih. Yesus menegur dengan lembut, “Bukankah kesepuluh orang itu semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu?” Pertanyaan ini bukan sekadar kekecewaan, tetapi panggilan bagi kita untuk menyadari bahwa berkat tanpa rasa syukur adalah berkat yang kehilangan maknanya. Kesembilan orang itu memang sembuh secara fisik, tetapi hanya satu yang diselamatkan secara utuh. Kata yang dipakai Yesus, “imanmu telah menyelamatkan engkau,” berasal dari bahasa Yunani sozo, yang berarti keselamatan menyeluruh, bukan hanya tubuh yang sembuh, tetapi jiwa yang dipulihkan. Dengan kata lain, sembilan orang mengalami penyembuhan, tetapi hanya satu yang mengalami keselamatan. Syukur selalu membawa kita kepada relasi yang dipulihkan dengan Allah. Rasa syukur bukan sekadar reaksi spontan ketika hidup membaik, tetapi tanda bahwa hati kita telah disentuh oleh kasih Tuhan. Orang Samaria itu mungkin tidak tahu banyak tentang hukum Taurat, tidak paham tradisi ibadah Yahudi, tetapi ia tahu satu hal yang benar: kasih yang besar pantas disambut dengan penyembahan yang tulus. Di sinilah iman sejati tampak, bukan pada kesempurnaan doktrin, tetapi pada kerendahan hati yang tahu berterima kasih. Menariknya, kesembuhan itu terjadi di tengah perjalanan, bukan di titik akhir. Ini mengingatkan kita bahwa hidup sering kali tidak menunggu keadaan sempurna untuk bersyukur. Banyak dari kita menunda ucapan syukur sampai doa dijawab atau masalah selesai. Namun kisah ini mengajarkan, syukur sejati justru muncul di tengah proses, saat kita masih berjalan dengan iman, saat kita masih belum melihat hasil akhir, namun percaya bahwa Tuhan sedang berkarya. Bersyukur di tengah perjalanan adalah bentuk iman yang dewasa; iman yang tidak menuntut bukti, tetapi percaya pada janji. Sebagai jemaat Tuhan di GKI Taman Cibunut, kita pun diajak untuk memiliki sikap yang sama: berhenti sejenak dari langkah-langkah sibuk kehidupan, menundukkan hati, dan menyadari betapa besar kasih Tuhan dalam keseharian kita. Setiap napas yang kita hirup, setiap kesempatan untuk beribadah, setiap keluarga dan sahabat yang menopang, semuanya adalah anugerah. Syukur bukan hanya kata yang kita ucapkan di meja makan, tetapi cara hidup yang memuliakan Allah di setiap detik keberadaan kita. Ketika kita belajar untuk tersungkur di hadapan Tuhan, kita pun akan menemukan kekuatan untuk bangkit dan melayani dengan sukacita. Akhirnya, orang Samaria itu pergi setelah tersungkur. Ia tidak terus berlutut di tanah; Yesus menyuruhnya berdiri dan melanjutkan hidupnya dengan damai. “Berdirilah dan pergilah,” kata Yesus, “imanmu telah menyelamatkan engkau.” Inilah perjalanan iman yang utuh: tersungkur karena menyadari kasih, lalu bangkit untuk hidup dalam kasih itu. Syukur sejati tidak berhenti di altar, tetapi bergerak dalam tindakan nyata, dalam cara kita mengasihi, melayani, dan membawa terang Kristus ke tengah dunia. Kiranya setiap kita belajar menjadi seperti si Samaria yang tahu kembali kepada Sumber berkat. Dalam setiap musim hidup, entah dalam suka maupun duka, mari kita belajar tersungkur di hadapan Tuhan dan berkata, “Terima kasih, Tuhan.” Sebab di situlah iman bertumbuh, dan di sanalah keselamatan menjadi nyata dalam hidup kita.
Sejumlah orang Belanda beraliran Gereformeerde bermukim di Bandung dan membentuk jemaat dewasa di Naripanweg 11 pada tanggal 1 Februari 1916 oleh jemaat induk Christelijke Gereformeerde Kerk te Batavia (Jemaat Kwitang Belanda). Itulah awal hadirnya De Gereformeerde Kerk van Bandoeng, dengan pendeta konsulen Pdt. H. A. van Andel dari Solo sampai Pdt. Dr. J. H. Bavinck dipanggil menjadi pendetanya. Beliaulah yang pada tanggal 18 Juli 1921 meletakkan batu pertama pembangunan gedung gereja di van Deventerweg 15 (kini no. 11) dan meresmikannya pada tanggal 23 Desember 1921. Beliau melukiskan jemaat ini sebagai jemaat yang dikelilingi Tuhan sebagaimana gunung-gunung mengelilingi kota Yerusalem (Mazmur 125 : 2). Gambaran ayat ini tercantum pada cap gereja yang digunakan hingga tahun 1987.
Para pendeta berkebangsaan Belanda silih berganti menggembalakan jemaat, yang konon pernah berjumlah sekitar 900 orang ini. .....Lebih Detail....!